Ilustrasi (Ist.)
"Mending jual ke luar negeri ketimbang di dalam negeri," ujar Garibaldy W. Mukti, Chief Marketing Officer Nightspade, salah satu software development asal Bandung, saat berbincang dengan detikINET.
Gari, demikian pria ini akrab dipanggil, bertindak seperti itu bukannya tidak nasionalis. Namun hal ini terpaksa dilakukan lantaran belajar dari pengalaman yang telah dia ecap. Menurutnya, dengan kompleksitas dan desain yang sama, perusahaan dalam negeri menghargai hasil karya software/game lebih murah ketimbang perusahaan asing.
"Kita pernah terima proyek game dari lokal. Itu cuma Rp 5 juta. Sedangkan di luar, kita bisa dihargai USD 8.500 USD atau sekitar Rp 76,5 juta ($1 = Rp 9.000). Itu dengan kompleksitas dan desain yang hampir sama," jelasnya.
Minimnya kepercayaan investor dalam negeri dalam menghargai game karya anak bangsa juga menjadi salah satu kendala. Selain itu, prosedur yang rumit kerap kali diterapkan oleh investor lokal.
"Kita pernah kerjasama dengan salah satu perusahaan di Korea. Itu tinggal submit saja dan membayar USD 300. Tanpa pernah ketemu secara fisik dengan perusahaan tersebut. Kalau di sini, untuk aplikasi mobile saja kita harus deposit ke provider dan kita tidak tahu berapa yang didapatkan," ungkapnya.
Saat ini, Nightspade sendiri lebih banyak menerima proyek dari luar negeri. "Hampir 95 persen kita kerjain proyek dari luar," pungkasnya.
( afz / ash )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar