Sampai empat tahun lalu, ketika presensi mayantara lebih diwakili blog, sementara penetrasi Facebook maupun Twitter belum meluas, para narablog menyaksikan satu hal: pada hari libur dan akhir pekan lalu lintas ke blognya turun. Artinya kantor-kantor telah menjadi warnet. Pada hari kerja akses dari tempat kerja sangat tinggi.
Sekarang justru pada akhir pekan lalu lintas Twitter ramai. Saya menduga, beberapa pendorongnya adalah:
Mobile internet kian terjangkau. Sebagai contoh, pada 2007 layanan Indosat IM2 dibundel dalam paket 18 bulan, dengan bonus data card, per bulannya minimal Rp 300.000, ditagihkan dari kartu kredit. Saat itu layanan BlackBerry non-enterprise masih dirasa mahal, sekitar Rp 300.000 bulan. Bahkan penggunaan kartuHalo pada ponsel sebagai modem bisa membengkakkan tagihan sampai jutaan rupiah. Karena kompetisi, semua tarif akhirnya terkoreksi, sampai ada tarif harian segala.
Laptop semakin murah terutama setelah maraknya netbook Rp 3,5 jutaan pada 2008. Digabungkan dengan akses mobile internet, termasuk Wi-Fi gratis maupun berbayar, kantor bukan lagi andalan di luar hari dan jam kerja. Dari kamar indekosan pun bisa berinternet.
Dengan laptop maupun terlebih handset, dan kemudian tablet, libur dan akhir pekan menjadi lebih menyenangkan, bukan lagi penyebab mendung hati lantaran tiada koneksi.
Tapi mengapa Twitter begitu fenomenal, sehingga baru pada Januari 2011, empat tahun setelah layanan itu diperkenalkan, jumlah akun Indonesia mencapai 4,8 juta? Saya rasa persoalannya jelas...
Yang lebih dibutuhkan orang adalah percakapan sosial. Ngetwit lebih gampang ketimbang ngeblog, padahal keduanya termasuk media sosial. Sama gampangnya dengan memperbarui status di Facebook.
Namanya juga media sosial, maka keterlibatan banyak teman di sana akan menjadi penarik. Tak hanya bersua teman lama tetapi juga mendapatkan teman baru.
Laporan itu juga menyebutkan, dari 4,1 juta blog Indonesia yang terjaring itu hanya 32,67 persen yang terbarui dalam tiga bulan terakhir. Soal itu pun jelas. Sebetulnya semua orang bisa ngeblog tapi stamina ngeblog secara ajek memang bukan untuk semua orang.
Jika kepentingannya hanya presensi dan konversasi di dunia maya, maka itu sudah terwakili oleh layanan lain. Bahkan tempelan chatboard atau shoutbox dalam blog sudah dioper oleh Facebook dan Twitter.
Gampangannya, orang SDM cukup menengok Facebook, Linkedin, Twitter, dan lainnya untuk lebih mengenal pelamar. Adapun blog, sebagai halaman pribadi yang lebih terbarui dibandingkan halaman statis era Geocities, hanyalah tambahan untuk menengok pikiran dan portofolio seseorang.
Pertanyaan selanjutnya: benarkah media sosial telah menjadi media alternatif yang mengancam media konvensional, tak hanya cetak tetapi juga situs berita?
Laporan menunjukkan, kicauaan Twitter @detik termasuk yang paling sering di-retweet. Itu wajar. Jika menyangkut berita cepat, maka perorangan dalam arti netizen tak dapat mengalahkan organisasi pemberitaan.
Secara kebetulan bisa saja saya nomor satu melaporkan pesawat jatuh, lengkap dengan gambar. Tapi info siapa pilotnya, ke mana rutenya, dan berapa jumlah penumpangnya, secara lekas hanya dapat dilakukan oleh penerbit yang punya jaringan reporter dan tim editor.
Untuk situs berita, yang brand-nya menancap kuat di Indonesia ya hanya detik.com. Selain detik.com memang punya akun, setiap berita dan artikelnya sudah siap bagi ke media sosial. Lantas yang dilakukan oleh pembaca adalah meneruskan kicauan. Laporan menujukkan, dari keseluruhan kicauan itu 53 persen berupa retweet.
Tentang Penulis: Antyo Rentjoko, dikenal juga dengan julukan Paman Tyo, adalah blogger di beberapa tempat yang mengagregasikan posting di antyo.rentjoko.net. Account twitter-nya adalah @pamantyo |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar