Assange yang juga mantan hacker komputer menyatakan bahwa internet, khususnya situs jejaring sosial seperti Facebook, memberikan kemudahan bagi pemerintah untuk mengintai aktivitas banyak orang.
"Ada aktivitas pemberontakan yang berkumpul di Facebook sekitar tiga atau empat tahun lalu dan berbasis di Kairo. Gerakan itu masih sangat kecil. Setelah itu, mereka semua dikumpulkan dengan memanfaatkan Facebook lalu para partisipan kelompok itu dihajar, diinterogasi, dan dibui," jelasnya.
Kejadian ini, lanjut Assange, membuktikan bahwa selain memiliki kemampuan untuk memberi tahu kepada kita apa yang telah dilakukan pemerintah, internet juga menjadi mesin mata-mata terhebat yang pernah ada di dunia.
Bahkan, pria asal Australia berusia 39 tahun itu menyebut jika perkembangan teknologi juga turut berperan dalam menumbuhkembangkan rezim tirani.
"Ini bukan teknologi yang mengakomodir kebebasan berbicara. Ini bukan teknologi yang menghormati hak asasi manusia," kata Assange.
"Sebaliknya, ini adalah teknologi yang bisa digunakan untuk membuat sebuah rezim totaliter mata-mata, orang-orang seperti yang kita tidak pernah melihat," imbuhnya, skeptis.
Meski demikian, Assenge tetap memiliki harapan terhadap internet untuk memberi manfaat positif kepada banyak orang hingga mengubah nasib suatu negara.
Seperti bocoran kawat diplomatik di WikiLeaks yang dianggapnya telah membantu untuk memicu pemberontakan di negara-negara Arab. Ia juga mengatakan bahwa dilepasnya dokumen resmi diplomatik AS telah mengubah dinamika di Tunisia, yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan rezim.
( ash / rns )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar