Menara BTS (bgs/inet)
Jakarta - Aturan tentang penggunaan menara bersama diminta tidak lagi mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, namun diatur oleh Peraturan Presiden (Perpres).
Menurut Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Sarwoto Atmosutarno, hal ini demi terciptanya kepastian hukum bagi investasi dari pelaku usaha di sektor telekomunikasi.
"Kami meminta aturan itu tidak dalam bentuk SKB lagi,” kata Sarwoto di sela kerja sama pengembangan konten antara Telkomsel dan Binus, di Jakarta, Kamis (7/4/2011).
"Sebaiknya aturan itu berbentuk Perpres agar ada jaminan bagi pelaku usaha dan memudahkan koordinasi di lapangan karena pembangunan menara itu melibatkan banyak departemen selain pemerintah daerah," lanjut dia.
SKB Menara Bersama adalah Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kominfo dan Kepala BKPM tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi No.18/2009, No.7/2009, Permen No.19/2009, dan No. 3/2009
Aturan ini telah ditetapkan dan mulai berlaku sejak 30 Maret 2009.
30 Maret 2011 kemarin merupakan batas waktu akhir bagi masa transisi dan peralihan pembangunan dan atau penyediaan menara telekomunikasi bersama. Hal ini diatur dalam Pasal 28.
"Penyedia menara yang telah memiliki izin mendirikan bangunan menara dan telah selesai atau sedang membangun menaranya sebelum Peraturan Bersama ditetapkan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Bersama ini paling lama dua tahun terhitung sejak aturan ditetapkan."
Penyesuaian itu berupa menara yang telah dibangun dan lokasinya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan lingkungan diprioritaskan untuk digunakan sebagai menara bersama.
Kementerian Kominfo sendiri tengah melakukan uji publik untuk merevisi SKB menara bersama khususnya pasal 28. Usulan yang diberikan Kemenkominfo adalah batas waktu transisi diundur menjadi 31 Desember 2012
Sarwoto menyarankan, dalam merevisi isi dari peraturan tidak cukup hanya masalah di Pasal 28 tetapi juga menyangkut pengurusan perizinan dan biaya yang perlu dilakukan standarisasi.
"Rasanya tidak cukup hanya masalah pasal 28 itu karena kondisi di lapangan kami memiliki kesulitan dalam mengurus perizinan mengingat di setiap daerah berbeda-beda standarnya. Jika ada standar nasional ini bisa membuat pelaku usaha mudah dalam merencanakan biaya operasi," jelasnya.
Dicontohkannya, perizinan yang memerlukan standarisasi adalah masalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau biaya Hinder Ordinasi (HO) yang berbeda-beda di setiap daerah.
( rou / rou )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar